Pages

Sabtu, 12 Februari 2011

Bahaya narkoba bukan cuma kata doang

Aktivitas belajar yang sedang kuikuti terhenti seketika oleh riuhnya suara orang-orang berkonvoi di salah satu jalan utama di Jakarta ini. Terdorong oleh rasa penasaran, aku pun beringsut ke arah jendela untuk mengintip jalannya konvoi. Ternyata sebuah konvoi simpatik, dengan serombongan orang duduk di dalam metromini, memperingati Hari Anti Narkoba Sedunia. Seketika itu pula aku diingatkan kembali, bahwa pada suatu masa narkoba pernah membawa luka di hidupku.
Lucu juga memikirkan kenyataan bahwa kadang kita tidak terlalu peduli pada isu yang ramai dibicarakan orang-orang, hanya karena kita merasa isu itu terlalu “jauh” adanya. Ya, aku paham bahaya narkoba itu ada. Tapi dulu aku selalu merasa bahwa kasus narkoba terlalu “jauh” untuk menjadi nyata. Seakan bahwa narkoba itu memang nyata dalam berita, namun tak akan pernah menyentuh kehidupan kita maupun orang-orang di sekitarku.
Tentang kecanduan narkoba, aku hanya tahu tanpa memahami lebih dalam penyebabnya. Aku sekedar tahu bagaimana akibatnya, tanpa pernah menyaksikan sendiri dengan mata kepala. Hingga kemudian bahaya ini merenggut nyawa dia yang kukenal, sekitar setahun lalu.
Aku memang tidak dekat dengannya, pun tidak mengetahui aktivitas sehari-harinya. Dia kecanduan narkoba, tanpa aku pernah menyadarinya. Kabar tentangnya datang sesekali saja, dan ketika kabar sakitnya itu tiba, sudah nyaris terlambat waktunya.
Bersama dengan teman-teman di sudut sebuah pasar di kota ini, dia menghabiskan malam. Berbagi surga, sementara masa depan semakin gelap untuk mereka. Jenis narkoba yang digunakannya adalah narkoba suntik. Entah bagaimana kenikmatan yang dia rasakan, entah apa yang mendorong dia untuk menyakiti badan. Jarum suntik itulah yang jadi raja baginya, yang menyeretnya ke gerbang kematiannya. Tidak hanya narkoba saja, karena HIV kemudian menginfeksi dirinya.
Komplikasi antara kecanduan, sakit liver kronis, dan pencernaan yang rusak jadi siksaan selama siksa hidupnya. Ketika aku tahu sebab penyakit ini dari dokternya, aku seketika terhenyak. Narkoba, awalnya hanya satu hal yang hanya kutemui pada berita, pada tayangan televisi, penyuluhan serta materi kampanye di mana-mana. Narkoba, satu kata yang selalu direndengkan dengan kematian. Ternyata bahaya narkoba ini nyata, dan tak jauh dari hidupku adanya.
Hidupnya kemudian dijalani di tempat tidur, sudah terlalu terlambat untuk melakukan tindakan apapun. HIV sudah meruntuhkan segala kekuatan tubuh mudanya. Tubuh kurus berbalut kulit tipis itu tak bisa bangun lagi. Bahkan sekedar untuk duduk. Luka-luka yang sulit sembuh tersebar di sekujur tubuhnya. Sariawan parah dan lidah yang tak mampu lagi mencecap rasa, membuatnya tak bisa menikmati sebanyak apapun jelly dan apel yang kami bawa untuknya. Hingga pada suatu hari, seraya kesusahan mengangkat kedua tangannya dia berkata:
Rasanya aku pengen bangkit. Pengen bisa bangun dari tempat tidur ini, bangkit gitu.. Heeuuppp!!
Dia memang tak pernah kuasa bangkit. Aku pun tak pernah melihat lagi senyumannya, karena dua hari kemudian dia dipanggil oleh-Nya. Kepergiannya mungkin hanya menambah deretan angka korban narkoba. Mungkin juga selain bagi keluarga yang ditinggalkan dan orang-orang yang dekat dengannya, dia cuma seorang yang “bukan siapa-siapa”. Pembicaraan tentangnya tidak bertahan lama, tidak pula masuk berita utama. Tapi justru dengan “ke-biasa-annya” itu (bahwa dia orang biasa, bukan orang kaya, artis atau pejabat negara), aku ingin mengingatkanmu, Nona. Bahwa narkoba bisa menyentuh siapa saja, mulai dari pengelola negara ini, bintang gosip selebriti, hingga sekumpulan pemuda pasar di sudut Kota Bogor.
Saya pun terdiam dan tidak sanggup berkomentar apa-apa. Hanya sebentuk ucapan terima kasih atas kesediaan membagi cerita ini, dan atas keinginannya pula saya menuliskan kisahnya di blog saya. Disertai sebentuk harapan, untuk mengasah kepekaan kita. Untuk menjaga diri, keluarga dan lingkungan sekitar kita dari bahaya yang selalu menyapa.
Moral postingan ini: Narkoba bukan sekedar deretan angka kematian yang jadi bahan berita. Lebih dari itu, narkoba adalah bahaya nyata yang selalu manis aksinya dalam menggoda. Kita harus lebih peka, minimal untuk menjaga orang-orang dekat kita. Agar angka-angka tak berakhir sebagai materi kampanye semata.

MultiPoint: solusi kesenjangan akses komputer

Komputer bagi banyak sekolah di Indonesia masih belum menjadi fasilitas yang selalu tersedia. Komputer ada tapi tak selalu memberi guna. Terdiam manis di pojok ruangan tata usaha atau sekedar untuk pemanis meja. Padahal mestinya komputer bisa lebih berdaya terutama untuk membantu kegiatan belajar siswa.
We all know, saat ini teknologi komputer masih belum terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini terutama dapat dilihat pada akses siswa Indonesia terhadap komputer yang mencapai rasio 1000:1. Maka upaya pemerintah dalam memperkecil rasio menjadi 20:1 menjadi berita yang menggembirakan.
Tapi menyediakan komputer untuk siswa di sekolah dalam jumlah lima puluh kali lipat dari yang ada sekarang tentu bukan hal yang mudah bagi siapapun, termasuk pemerintah kita. Sejumlah kerjasama kemudian dilaksanakan, termasuk dengan perusahaan swasta. Jejaring kerjasama yang menyumbang berbagai sumberdaya yang dimiliki tentu diharapkan bisa mewujudkan tujuan meningkatnya akses siswa terhadap komputer pada khususnya dan teknologi informasi pada umumnya.
Kemudian tersebutlah teknologi MultiPoint, sebuah terobosan untuk mendukung pendidikan di negara berkembang dan dunia pendidikan pada khususnya. Tujuannya tentu mengirit biaya yang harus dikeluarkan sekolah dalam menyediakan komputer bagi siswanya. Namun, ada tujuan lain yang tak kalah menarik: membuat proses belajar jadi lebih interaktif dan menjadikan guru lebih kreatif. Proses belajar yang menyenangkan dan guru yang inovatif, wow!
Seperti apa bentuknya? Satu hal untuk membuatnya sederhana: bayangkanlah satu komputer dalam kelas yang bisa diakses oleh guru dan seluruh siswa di sana. Ya, hanya satu. Tidak perlu antri untuk menggunakan, dan tak perlu ada sikut-sikutan demi mendapatkan giliran.
Bagaimana bisa? Agak sulit memahami bila belum melihatnya langsung. Penjelasan sederhana yang saya dapatkan saat mendengar teknologi ini adalah: satu komputer terhubung dengan puluhan tetikus. Dengan demikian setiap siswa bisa mengakses komputer yang tersedia dan ambil bagian dalam proses belajar. Interesting, isn’t it? Maka kejadian siswa yang cemberut karena kalah dalam persaingan mencoba komputer tidak perlu ada lagi.

Teknologi MultiPoint ini dikembangkan oleh Microsoft India dan telah sukses diujicobakan di India dan 43 sekolah di Filipina. Indonesia pun tak kalah rupanya, dipilihlah Yogyakarta sebagai lokasi penerapan pertama. Beberapa sekolah di sana berkesempatan menjadi pengguna perdana. Ya, saya bersama kawan dari CahAndong sudah berkunjung ke sana dan segera saya sampaikan ceritanya untuk anda. ;)
Moral postingan ini: Akses terhadap komputer dan teknologi memang jadi salah satu penentu pengembangan pendidikan di Indonesia. Bila akses masih menjadi masalah, inovasi teknologi murah dan mudah serta kerjasama dengan swasta bisa menjadi solusinya.

Belajar seru bareng MultiPoint yuk !

Saat ini, MultiPoint telah diterapkan pada empat sekolah di Yogyakarta yaitu: SD Ungaran 2SD Muhammadiyah SapenSD Muhammadiyah Condong Catur dan SD Serayu. Keempat sekolah ini menjadi lokasi penerapan yang pertama di Indonesia.
Anda mungkin bertanya-tanya seperti apa bentuknya. MultiPoint adalah teknologi yang bertujuan memperkecil rasio antara siswa dan komputer plus membuat suasana belajar lebih menyenangkan. Dengan demikian, satu kelas hanya membutuhkan satu set komputer yang terhubung dengan (maksimal) 40 tetikus dan proyektor untuk menampilkan materi pelajaran ke layar/dinding.
Setiap siswa bisa menggunakan tetikusnyanya masing-masing sehingga pengajaran bisa berlangsung secara interaktif. Masing-masing tetikus ini mempunyai pointer sendiri berbentuk icon-icon yang lucu dan nama masing-masing siswa. Tidak perlu antre untuk mengklik pilihan jawaban, karena setiap klik masuk ke “account”-nya sendiri.
Teknologi ini memungkinkan guru menciptakan bahan pengajaran yang menarik. Semacamslide power point, tapi lebih interaktif berkat aplikasi Mouse Mischief (dulunya Mighty Mice). Mouse Mischief ini dilengkapi dengan template yang memudahkan guru membuat materi pengajaran. Keluarannya apa? Bayangkan guru menampilkan materi pengajaran (bisa berupa teks, gambar dan video) menggunakan slide yang diproyeksikan ke layar, lalu para siswa bisa “menyentuh” dan menjawab pertanyaan dengan tetikusnya masing-masing.
Prakteknya, MultiPoint memungkinkan seluruh siswa ikut ambil bagian dalam proses belajar & berinteraksi tanpa harus menunggu giliran. Tak usah berebut lagi, karena semua bisa kebagian. Guru bisa menayangkan soal ujian, siswa meng-klik jawaban lalu score-nya diketahui beberapa detik kemudian. Menyenangkan!
Apakah kemudian fungsi lab komputer jadi tergantikan? MultiPoint cocok diterapkan pada sekolah-sekolah yang belum mempunyai fasilitas lab komputer sendiri. Manfaatnya memberikan pengalaman pada siswa untuk berinteraksi dengan dan belajar menggunakan komputer. Dari segi investasi, tentu MultiPoint lebih irit ketimbang membeli komputer untuk setiap siswa. Lab komputer memang lebih banyak memberikan kegunaan, tapi MultiPoint ini bagus sebagai awalan.


Salah satu bagian dari penyelenggaraan MultiPoint pada sekolah-sekolah tersebut adalah pelatihan untuk guru-guru. Mereka mendapat pembekalan mengenai MultiPoint dan menyusun materi pengajaran yang menarik. Guru-guru inilah yang kemudian menyebarkan keterampilan kepada guru-guru lain di sekolahnya masing-masing. Ari Budiyanto dari SD Muhammadiyah Condong Catur telah mempraktekkannya.
Teknologi ini tentunya akan lebih tepat guna bila diterapkan pada sekolah yang minim fasilitas. Pada sekolah yang masih menganggap komputer sebagai barang mewah atau belum punya akses ke sana. Bisa mendapat manfaat ganda, namun tidak boros di urusan dana. Ke depannya, mungkin teknologi semacam ini bisa diterapkan pada lembaga pendidikan nonformal, misalnya Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang menjadi alternatif masyarakat memperoleh pendidikan. Bagaimana menurut pendapat anda?
Saksikan juga video MultiPoint di SD Muhammadiyah Sapen di blog Sekardus Ide.

cerpen dikit " first step to miss universe"

Perayaan 17 Agustusan tahun 1993 ada rangkaian perlombaan dari pagi hingga sore, dengan satu lomba penutup pada malam harinya yaitu: pemilihan Raja dan Ratu Taweuran. Heu heu..Taweuran itu adalah nama salah satu jalan di perumahan tempat saya tinggal (Perumnas Bantarjati), ada Jalan Taweuran I hingga Jalan Taweuran VI.Lombanya dilaksanakan malam hari sekitar pukul 7, bertempat di lapangan sebelah tangki besar penampung air. Saya ingat teman-teman yang mengikuti lomba tersebut kebanyakan berdandan dengan “demikian niatnya”. Ada yang berkostum kebaya, berkostum ala pahlawan Imam Bonjol, hingga kostum atlet bulutangkis lengkap dengan raketnya. Penonton lomba kebanyakan berdiri di sisi luar pagar yang mengitari lapangan. Rame banget malam itu.
Pelaksanaan lombanya sih ngga rumit, peserta hanya diminta memperkenalkan diri, berjalan mengitari lapangan (ala model catwalk gituu kali ye) dan ditanya beberapa pertanyaan oleh juri.
Sesi memperkenalkan diri dan berjalan ala model, lewat dengan mulusnya dong yah. Ajang unjuk narsis. Apa sih susahnya gitu doang…hah? Heu heu..waktu itu rasanya cuma saya yang berjalan mengitari lapangan sampe satu putaran penuh. Kebanyakan teman cuma berjalan setengah lapangan lalu lari kembali ke tempat duduk seraya terkikik.
Sesi berikutnya adalah menjawab pertanyaan dari juri. Setiap peserta diberikan pertanyaan berbeda yang kayanya ditentukan seenak mood si juri. Percakapan saya dan juri saat itu adalah:
“Pipit pake baju apa ini?”, tanya Bapak Juri (BJ).
Saat itu, baju yang saya kenakan adalah salah satu baju pesta ulangtahun saya. Bentuknya terusan (one piece) ngepas body gitu. Warnanya putih, dengan lengan berbentuk gelembung dan bagian bawah berupa rok berlapis-lapis transparan berwarna pastel dan agak mengkilap di beberapa bagiannya (waktu itu glitter belon ngetrend). Saya dengan pede-nya menjawab, “ini baju ballerina, Pak. Pemain balet”. Padahal mah baju itu dipake gara-gara mamah saya ngga sempet nyari kostum. Saya pake baju itu karena membuat saya merasa cantik. heuheu…Untungnya, BJ ngga complain.
“Pipit sekarang kelas berapa?”
“Kelas tiga”
“Pipit, rangking berapa kalo di sekolah”
“Kadang rangking 1, kadang rangking 2″. Yess, untung BJ nanya itu, bisa sekalian narsis. Heheh..
“Pipit agamanya apa sih?”
“Islam, Pak”
“Udah diajarin syahadat kan? Coba dong baca syahadat..”
“err…err…” *Penonton gemes*
“Tau syahadat ga?”
“Ngga pak..apaan sih”*penonton ngakak, juri terkekeh-kekeh*
“Syahadat…itu lho yang bacaan ashyadu anla illa…”
“oh yang itu!! kalo itu mah tau!!”. Langsung aja saya nyamber meneruskan kalimat BJ.
Konyol banget. Bisa dikira murtad guah, syahadat aja kaga nyaho.
Dan yaah…seperti kebanyakan cerita saya yang lain yang selalu bernuansa narsis (puas..puas..puas..??!!), lomba tersebut diakhiri dengan saya yang dianugerahi gelar sebagai Ratu Taweuran. Tetangga saya yang menjad i Raja Taweuran adalah Gatot Adriansyah (Mas Adri) yang saat itu kelas 6 SD. Kebayang dong gimana kesenjangan tingginya… heueheu
Saya teringat pengalaman ini ketika menonton pemilihan Miss Universe kemarin. Waktu saya memenangi lomba ini, saya sempet kepikiran gini, “kelas 3 SD menang lomba Ratu Taweuran. Kira-kira 13 tahun tahun lagi mungkin saya yang jadi Miss Universe“.. hohohohoh…

Smartphone is (not so) smart people ?

Awalnya adalah ide untuk membuat segalanya jadi lebih praktis. Gimana caranya agar bermacam hal bisa dikerjakan dengan satu gadget saja? Gimana caranya supaya bisa internetan tanpa harus bawa desktop ke mana-mana? Untuk alasan-alasan inilah sejumlah orang pintar menciptakan smartphone alias telepon pintar.
Smartphone lalu menjadi kebutuhan primer banyak orang. Ada banyak alasan dan tujuan berbeda yang mendorong orang memiliki smartphone. Alasan paling umum adalah supaya bisa ngecek email dan internetan kapanpun. Ada juga yang menggunakannya untuk blogging, memotret dan bermain game.

Gendut nggak berarti nggak cantik dong yaa

Putri raja seringkali dicitrakan sebagai perempuan yang (pasti) cantik, (pasti) bertubuh sempurna, dan (pasti) terawat. Mari ingat-ingat cerita putri raja yang antara lain diceritakan dalam dongeng-dongeng HC Andersen: Cinderella, Beauty and The Beast, Snow White dan Sleeping Beauty. Mereka memenuhi syarat-syarat yang harus dimiliki oleh perempuan cantik. Yak, garis bawahi dulu pengertian cantik itu. Cantik yah, cantik.. lho memangnya cantik fisik itu yang seperti apa?

Padahal kita tahu bahwa pengertian cantik, tubuh sempurna dan terawat itu berbeda menurut kebudayaan masing-masing. Misalnya kebudayaan Romawi yang menganggap perempuan cantik adalah yang berbadan gendut. Sayangnya, kebanyakan orang sudah terlanjur terdedah oleh pengertian mainstream bahwa cantik & tubuh sempurna itu adalah: langsing, kulit putih dan berambut lurus. Definisi cantik inilah yang dipopulerkan oleh para produsen kosmetika, (kebanyakan) pelaku industri fesyen dan pelaku industri periklanan. Seringkali perempuan gendut diperlakukan tidak adil, dinomorduakan dan seringkali dijadikan bahan lelucon.
*membaca lagi dari atas* Lah kok nonadita si badut Ancol jadi serius berapi-api gini??
Untuk kasus putri Sultan ini, ada kemungkinan dia tidak mengalami perlakuan tak adil (secara langsung) mengingat statusnya. Siapa sih yang berani mengolok-olok secara terang-terangan, “Woi, gendut lo!”. Bisa-bisa dihajar sama pengawalnya nanti. Tapi pada kenyataannya, diam-diam kita menulis posting di blog sendiri atau berbisik pada teman atau sekedar membatin dalam hati, “Gilee.. putri tapi kok gendut gini!”. Pada dasarnya sama saja tho, melakukan olok-olok terhadap orang gendut walaupun tidak disampaikan secara langsung pada yang bersangkutan. Seakan-akan menjadi gendut adalah suatu kesalahan dari sang putri (karena merusak harapan umum tentang deskripsi putri raja yang harus selalu langsing).
[Lalu apakah nonadita pro atau kontra bahwa gendut =tidak cantik?]
Gue nggak setuju bila gendut dikaitkan semata-mata pada masalah kecantikan. Tidak harus langsing sekedar untuk dianggap cantik. Setiap orang bisa terlihat cantik dengan keadaan tubuh yang berbeda. Karena itu gue mau  minjam istilah : Setiap bunga mekar dengan caranya masing-masing. Tidak perlu menjadi bunga yang serupa untuk sekedar memancarkan keindahannya.
[Baiklah. Tapi gendut itu ‘kan (biasanya) tidak sehat?]
Nah, gue lebih sreg bila kita mengaitkan dengan masalah kesehatan. Memang benar bahwa kegendutan (berlebih) bisa mengundang beberapa jenis penyakit. Misalnya: jantung koroner, darah tinggi. Kurus banget dan gendut banget (dan semua yang kebangetan), sama-sama berpotensi memunculkan penyakit.
Kesehatan memiliki definisi yang lebih jelas dan terukur. Kesehatan memberikan kita alasan yang lebih logis untuk tidak menjadi gendut (dan terlalu kurus tentu saja). Tapi, jangan sering-sering mengaitkan kegendutan dengan kecantikan. Karena sekali lagi, itu tidak adil. Cantik itu pengertiannya terlalu subyektif, bergantung pada selera seseorang dan kultur masyarakat yang berbeda.

#specialindonesia KEPULAUAN BANGKA BELITUNG



Ibukotanya adalah Pangkal Pinang.

Data dan Statistika

Pantai Tanjung Tinggi. 
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal juga sebagai provinsi seribu pantai karang. Wilayahnya berbatasan dengan wilayah Provinsi Bangka Belitung di utara adalah Laut Natuna, bagian timur Selat Karimata, again selatan Laut Jawa, dan bagian barat Selat Bangka.
Provinsi ini terdiri dari tujuh kabupaten, yaitu Kab. Bangka, Kab. Belitung, Kab. Bangka Barat, Kab. Bangka Tengah, Kab. Bangka Selatan, Kab. Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang. Dua pulau besar Bangka dan Belitung menjadi provinsi atas UU No. 27 Tahun 2000 pada 21 November 2000.